Riyan Hidayat Ali
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)
Anak jalanan tentu menjadi salah satu pemandangan tak sedap yang kita lihat hampir setiap hari. Entah sejak dari waktu kapan fenomena anak jalanan menjadi ada. Belum ada jawaban pasti untuk itu. Namun anak jalanan tak sekedar fenomena, ia telah menjadi sebuah masalah sosial pelik saat ini. Tentu juga di Indonesia, selain di negara lain di dunia ini, banyak anak jalanan berada. Di Indonesia, anak jalanan beraglomerasi di kota-kota besar, mulai dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan. Namun terbanyak mereka berada di kota Jakarta, yaitu sejumlah 31.304 di tahun 2002 (profil dinas bina mental spiritual dan kesejahteraan sosial DKI Jakarta).
Dengan jumlah sebanyak itu tentu pemerintah DKI Jakarta maupun organisasi pemerhati sosial tentu tidak tinggal diam. Telah banyak “jurus ampuh” untuk mengurangi –kalau tidak ingin dikatakan menghilangkan mereka- jumlah anak jalanan. Namun kebijakan demi kebijakan menjadi tak berarti dalam menanggulangi anak jalan. Lebih kasarnya kebijakan kebi kan itu telah gagal. Mulai dari pendidikan luar sekolah seperti rumah singgah, sekolah gratis sampai memulangkan mereka ke tempat asal, dan beberapa bentuk lainnya telah dijalankan. Tetapi lihatlah sampai sekarang masih banyak anak jalanan. Berkeliaran dijalanan protokol sebagai pedagangan asongan, pengemis, pembersih kaca mobil telah menjadi kegiatan sehari-hari mereka yang tentu mengangu ketertiban umum. Dan tentu oleh alasan ini pula lah sebelumnya dikatakan anak jalanan menjadi masalah sosial.
Namun yang menjadi pertanyaan kenapa kebijakan pemerintah tidak mampu mengatasi masalah sosial yang satu ini. Tentu banyak jawaban yang terjabar untuk pertanyaan ini. Tetapi disini jawabannya hanya dilihat dari kaca mata ekonomi. Untuk mempertajam jawaban, kita ambil saja salah satu contoh kebijakan yang gagal yaitu memberi pendidikan gratis. Bisa dilihat ana-anak jalanan masih enggan bersekolah. Mereka lebih memilih berada dijalanan untuk melakukan aktivitas yang tentunya menghasilkan uang. Mengapa memilih berada dijalanan daripada di sekolah? Ini menjadi pertanyaan selanjunya. Dalam Ilmu Ekonomi hal ini terkait dengan masalah pilihan. Konsep biaya peluang tentu menjadi jawaban yang disediakan dalam Ilmu Ekonomi.
Orang–orang dalam konsep ekonomi akan mengambil suatu pilihan apabila biaya peluang atas keputusan yang di ambilnya tersebut lebih kecil. Singkatnya dalam konsep ekonomi orang-orang dikatakan berprilaku rasional. Kembali pada masalah anak jalanan, tentu yang menjadi biaya peluang atas keputusan bersekolah adalah uang yang bisa didapat dengan melakukan berbagai aktivitas dijalanan. Sekarang mari kita hitung, berapa jumlah uang yang didapat anak-anak jalanan.
Anggaplah pendapatan anak-anak jalanan tersebut mendapat pendapatan bersih dalam satu hari Rp10.000. Oleh karena itu, mereka akan mengorbankan uang Rp10.000 setiap hari jika mereka memutuskan untuk berada di sekolah. Seminggu mereka bersekolah selama enam hari, berarti uang yang di korbankan seminggu Rp60.000. Untuk menamatkan sekolah dasar enam tahun mereka mengorbankan uang sebesar RP 17.280.000. Bisa disimpulkan biaya oportunitas dari bersekolah hingga tamat SD adalah lebih dari 17 juta. Jelas, Biaya peluang dari bersekolah sangat besar. Sementara itu pendapatan yang akan mereka dapatkan jika mereka bekerja dengan mengandalkan ijazah SD akan memberikan prospek yang lebih kecil juga.
Sebenarnya penyebab dari kegagalan kebijakan lain yang sejenis menjadi gagal adalah sama, pendapatan yang tinggi yang mereka dapat dijalanan dibanding melaksanakan berbagai kebijakan. Jadi bisa dilihat masalah utamanya adalah pendapatan yang tinggi jika berada dijalanan. Tentu bisa dicari kebijakan yang lebih solutif untuk mengatasi masalah anak jalanan. Yaitu kebijakan yang berusaha untuk mengurangi pendapatan anak jalanan. Salah satu kebijakan tersebut adalah melarang orang-orang memberi uang kepada anak jalanan. Kebijakan ini telah di sosialisasikan oleh pemerintah di berbagai daerah, tapi pelaksanaannya bisa kita lihat sendiri hampir tak berjalan.
Orang-orang tetap memberi uang kepada anak jalanan. Berbagai dalih mulai dari beramal, rasa kasihan, dan lainnya. Seharusnya “kita” sebagai orang yang belajar ekonomi jangan memberi uang kepada anak jalanan dengan alasan yang telah dijabarkan diatas. Masih banyak tempat beramal jika kita berdalih ingin beramal. Dan jika kita berdalih kasihan, malah sebenarnya dengan memberi mereka uang akan semakin menjerumuskan mereka. Telah benar kebijakan untuk melarang memberikan uang kepada orang-orang jalanan. Untuk itu “kita“ sebaiknya memang tidak memberi mereka uang.
Kandank Ilmu Team