Ridwan Sobirin
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)
ASEAN Free Trade Area merupakan suatu wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Salah satu tujuan utama dari AFTA ini adalah menjadikan ASEAN sebagai pusat produksi dunia serta menciptakan kawasan pasar regional bagi sekitar lima ratus juta penduduknya.
Terbentuknya AFTA ini sendiri ternyata menarik perhatian Negara Tirai Bambu, Cina. Negara tersebut berencana untuk meneken perjanjian bebas ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada awal tahun depan atau tepat pada tanggal 1 Januari 2010. Tak bisa dipungkiri, selain mendatangkan benefit bagi negara kita, akan tetapi di sisi lain sejumlah ekonom, para praktisi perdagangan, serta kalangan asosiasi industri memperingatkan bahwa ACFTA ini bisa mengancam kestabilan ekonomi dan industri domestik. Beberapa waktu terakhir memang terlihat adanya kecenderungan kenaikan dalam berbagai indikator perekonomian. Akan tetapi, tentu hal tersebut tidaklah cukup. Bahkan krisis keuangan global tahun yang lalu juga masih menyisakan kelesuan ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Selain itu, kesiapan Negara kita pun dalam menghadapi ACFTA ini masih dirasa sangat minim. Negara kita masih dihadapkan pada masalah rendahnya kualitas SDM, tingginya tingkat suku bunga perbankan, serta tidak ketinggalan masih lemahnya pengusaan teknologi di masyarakat kita.
Menurut World Economic Forum, daya saing negara kita hanya berada di posisi ke-54, jauh dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Jika saja pada 1 januari 2010 ini perjanjian ACFTA ini diteken oleh pemerintah, maka produk nasional kita bisa kalah bersaing dengan produk Cina. Apalagi jika pemerintah sampai membebaskan pajak impor hingga 0%. Hal lain yang dikhawatirkan adalah terjadinya defisit perdagangan. Defisit perdagangan ini paling tidak akan menimpa sektor-sektor yang potensial, seperti tekstil, petrokimia, makanan dan minuman, permesinan, baja, besi bahkan hingga peralatan pertanian pun bisa terkena imbasnya. Jika terus dibiarkan, tak mustahil ancaman PHK dan deindustrialisasi akan menjadi sebuah kenyataan.
Menunda ACFTA
Menganalisis berbagai dampak dari ACFTA yang diprediksikan memilliki lebih banyak sisi negatifnya bagi perekonomian negara kita, pemerintah pun akhirnya memutuskan untuk menunda ACFTA pada tanggal 1 Januari 2010 nanti. Dalam hal ini, memang kepentingan nasional harus kita utamakan daripada sekedar “gengsi” dan rasa hormat terhadap perjanjian tersebut. Barang-barang dari Cina memang menjadi sebuah tantangan yang paling utama dalam ACFTA ini. Selain harganya yang murah, produknya pun dapat bersaing dalam segi kualitas.
Usaha Kita
Terlepas dari ditunda atau tidaknya ACFTA tersebut, tentu persiapan dan antisipasi harus terus kita tingkatkan karena bagaimana pun suatu saat ACFTA tersebut pasti akan berlaku. Untuk meminimalisir dampak negatif dari ACFTA tersebut, skema dari perdagangan dan industri haruslah didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri tanpa mengurangi nilai ekspor yang menggunakan bahan-bahan domestik. Kita bisa membendung produk Cina dengan menambah investasi dalam dan luar negeri untuk kebutuhan pasar domestik. Selain itu, para pelaku usaha perdagangan dan sektor industri juga harus menjalani proses uji Standar Nasional Indonesia (SNI). Penerapan SNI bisa meningkatkan kualitas dan mendongkrak penjualan. SNI juga merupakan salah satu cara penyelamatan produk dalam negeri. Kampanye penggunaan produk buatan dalam negeri juga dirasa sangat efejtif dalam menyongsong ACFTA nanti.
Kandank Ilmu Team