Here We Are: Yangki Imade Suara | Citra Tamara Sari | Narendra Widhitama P. | Edo Dewantara | Follow Kandank Ilmu Twitter | Join us on Facebook

TRANSLATE: English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Thursday, December 31, 2009

Monday, December 21, 2009

“Kita“ Sebaiknya Memang Tidak Memberi Mereka Uang

Riyan Hidayat Ali
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)


Anak jalanan tentu menjadi salah satu pemandangan tak sedap yang kita lihat hampir setiap hari. Entah sejak dari waktu kapan fenomena anak jalanan menjadi ada. Belum ada jawaban pasti untuk itu. Namun anak jalanan tak sekedar fenomena, ia telah menjadi sebuah masalah sosial pelik saat ini. Tentu juga di Indonesia, selain di negara lain di dunia ini, banyak anak jalanan berada. Di Indonesia, anak jalanan beraglomerasi di kota-kota besar, mulai dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan. Namun terbanyak mereka berada di kota Jakarta, yaitu sejumlah 31.304 di tahun 2002 (profil dinas bina mental spiritual dan kesejahteraan sosial DKI Jakarta).

Dengan jumlah sebanyak itu tentu pemerintah DKI Jakarta maupun organisasi pemerhati sosial tentu tidak tinggal diam. Telah banyak “jurus ampuh” untuk mengurangi –kalau tidak ingin dikatakan menghilangkan mereka- jumlah anak jalanan. Namun kebijakan demi kebijakan menjadi tak berarti dalam menanggulangi anak jalan. Lebih kasarnya kebijakan kebi kan itu telah gagal. Mulai dari pendidikan luar sekolah seperti rumah singgah, sekolah gratis sampai memulangkan mereka ke tempat asal, dan beberapa bentuk lainnya telah dijalankan. Tetapi lihatlah sampai sekarang masih banyak anak jalanan. Berkeliaran dijalanan protokol sebagai pedagangan asongan, pengemis, pembersih kaca mobil telah menjadi kegiatan sehari-hari mereka yang tentu mengangu ketertiban umum. Dan tentu oleh alasan ini pula lah sebelumnya dikatakan anak jalanan menjadi masalah sosial.

Namun yang menjadi pertanyaan kenapa kebijakan pemerintah tidak mampu mengatasi masalah sosial yang satu ini. Tentu banyak jawaban yang terjabar untuk pertanyaan ini. Tetapi disini jawabannya hanya dilihat dari kaca mata ekonomi. Untuk mempertajam jawaban, kita ambil saja salah satu contoh kebijakan yang gagal yaitu memberi pendidikan gratis. Bisa dilihat ana-anak jalanan masih enggan bersekolah. Mereka lebih memilih berada dijalanan untuk melakukan aktivitas yang tentunya menghasilkan uang. Mengapa memilih berada dijalanan daripada di sekolah? Ini menjadi pertanyaan selanjunya. Dalam Ilmu Ekonomi hal ini terkait dengan masalah pilihan. Konsep biaya peluang tentu menjadi jawaban yang disediakan dalam Ilmu Ekonomi.

Orang–orang dalam konsep ekonomi akan mengambil suatu pilihan apabila biaya peluang atas keputusan yang di ambilnya tersebut lebih kecil. Singkatnya dalam konsep ekonomi orang-orang dikatakan berprilaku rasional. Kembali pada masalah anak jalanan, tentu yang menjadi biaya peluang atas keputusan bersekolah adalah uang yang bisa didapat dengan melakukan berbagai aktivitas dijalanan. Sekarang mari kita hitung, berapa jumlah uang yang didapat anak-anak jalanan.

Anggaplah pendapatan anak-anak jalanan tersebut mendapat pendapatan bersih dalam satu hari Rp10.000. Oleh karena itu, mereka akan mengorbankan uang Rp10.000 setiap hari jika mereka memutuskan untuk berada di sekolah. Seminggu mereka bersekolah selama enam hari, berarti uang yang di korbankan seminggu Rp60.000. Untuk menamatkan sekolah dasar enam tahun mereka mengorbankan uang sebesar RP 17.280.000. Bisa disimpulkan biaya oportunitas dari bersekolah hingga tamat SD adalah lebih dari 17 juta. Jelas, Biaya peluang dari bersekolah sangat besar. Sementara itu pendapatan yang akan mereka dapatkan jika mereka bekerja dengan mengandalkan ijazah SD akan memberikan prospek yang lebih kecil juga.

Sebenarnya penyebab dari kegagalan kebijakan lain yang sejenis menjadi gagal adalah sama, pendapatan yang tinggi yang mereka dapat dijalanan dibanding melaksanakan berbagai kebijakan. Jadi bisa dilihat masalah utamanya adalah pendapatan yang tinggi jika berada dijalanan. Tentu bisa dicari kebijakan yang lebih solutif untuk mengatasi masalah anak jalanan. Yaitu kebijakan yang berusaha untuk mengurangi pendapatan anak jalanan. Salah satu kebijakan tersebut adalah melarang orang-orang memberi uang kepada anak jalanan. Kebijakan ini telah di sosialisasikan oleh pemerintah di berbagai daerah, tapi pelaksanaannya bisa kita lihat sendiri hampir tak berjalan.

Orang-orang tetap memberi uang kepada anak jalanan. Berbagai dalih mulai dari beramal, rasa kasihan, dan lainnya. Seharusnya “kita” sebagai orang yang belajar ekonomi jangan memberi uang kepada anak jalanan dengan alasan yang telah dijabarkan diatas. Masih banyak tempat beramal jika kita berdalih ingin beramal. Dan jika kita berdalih kasihan, malah sebenarnya dengan memberi mereka uang akan semakin menjerumuskan mereka. Telah benar kebijakan untuk melarang memberikan uang kepada orang-orang jalanan. Untuk itu “kita“ sebaiknya memang tidak memberi mereka uang.

Kandank Ilmu Team

Ekonomi Setelah Satu Januari

Ridwan Sobirin
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)

ASEAN Free Trade Area merupakan suatu wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Salah satu tujuan utama dari AFTA ini adalah menjadikan ASEAN sebagai pusat produksi dunia serta menciptakan kawasan pasar regional bagi sekitar lima ratus juta penduduknya.

Terbentuknya AFTA ini sendiri ternyata menarik perhatian Negara Tirai Bambu, Cina. Negara tersebut berencana untuk meneken perjanjian bebas ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada awal tahun depan atau tepat pada tanggal 1 Januari 2010. Tak bisa dipungkiri, selain mendatangkan benefit bagi negara kita, akan tetapi di sisi lain sejumlah ekonom, para praktisi perdagangan, serta kalangan asosiasi industri memperingatkan bahwa ACFTA ini bisa mengancam kestabilan ekonomi dan industri domestik. Beberapa waktu terakhir memang terlihat adanya kecenderungan kenaikan dalam berbagai indikator perekonomian. Akan tetapi, tentu hal tersebut tidaklah cukup. Bahkan krisis keuangan global tahun yang lalu juga masih menyisakan kelesuan ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Selain itu, kesiapan Negara kita pun dalam menghadapi ACFTA ini masih dirasa sangat minim. Negara kita masih dihadapkan pada masalah rendahnya kualitas SDM, tingginya tingkat suku bunga perbankan, serta tidak ketinggalan masih lemahnya pengusaan teknologi di masyarakat kita.

Menurut World Economic Forum, daya saing negara kita hanya berada di posisi ke-54, jauh dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Jika saja pada 1 januari 2010 ini perjanjian ACFTA ini diteken oleh pemerintah, maka produk nasional kita bisa kalah bersaing dengan produk Cina. Apalagi jika pemerintah sampai membebaskan pajak impor hingga 0%. Hal lain yang dikhawatirkan adalah terjadinya defisit perdagangan. Defisit perdagangan ini paling tidak akan menimpa sektor-sektor yang potensial, seperti tekstil, petrokimia, makanan dan minuman, permesinan, baja, besi bahkan hingga peralatan pertanian pun bisa terkena imbasnya. Jika terus dibiarkan, tak mustahil ancaman PHK dan deindustrialisasi akan menjadi sebuah kenyataan.

Menunda ACFTA
Menganalisis berbagai dampak dari ACFTA yang diprediksikan memilliki lebih banyak sisi negatifnya bagi perekonomian negara kita, pemerintah pun akhirnya memutuskan untuk menunda ACFTA pada tanggal 1 Januari 2010 nanti. Dalam hal ini, memang kepentingan nasional harus kita utamakan daripada sekedar “gengsi” dan rasa hormat terhadap perjanjian tersebut. Barang-barang dari Cina memang menjadi sebuah tantangan yang paling utama dalam ACFTA ini. Selain harganya yang murah, produknya pun dapat bersaing dalam segi kualitas.

Usaha Kita
Terlepas dari ditunda atau tidaknya ACFTA tersebut, tentu persiapan dan antisipasi harus terus kita tingkatkan karena bagaimana pun suatu saat ACFTA tersebut pasti akan berlaku. Untuk meminimalisir dampak negatif dari ACFTA tersebut, skema dari perdagangan dan industri haruslah didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri tanpa mengurangi nilai ekspor yang menggunakan bahan-bahan domestik. Kita bisa membendung produk Cina dengan menambah investasi dalam dan luar negeri untuk kebutuhan pasar domestik. Selain itu, para pelaku usaha perdagangan dan sektor industri juga harus menjalani proses uji Standar Nasional Indonesia (SNI). Penerapan SNI bisa meningkatkan kualitas dan mendongkrak penjualan. SNI juga merupakan salah satu cara penyelamatan produk dalam negeri. Kampanye penggunaan produk buatan dalam negeri juga dirasa sangat efejtif dalam menyongsong ACFTA nanti.

Kandank Ilmu Team

Wednesday, December 16, 2009

Mengapa Bank Century Diselamatkan?



Ardanty Sista
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)



Kasus Bank Century seakan bergulir bagai bola api yang panas. Langkah upaya penyelamatan yang dianggap jalan keluar dari masalah oleh oleh LPS atas rekomendasi BI (Boediono) dan disetujui Menkeu RI (Sri Mulyani) seakan menjadi perdebatan tanpa akhir. Pada dasarnya hanya ada 2 pilihan saat itu salamatkan atau tutup. Keputusan untuk melakukan bail out terhadap Bank Century sebagai langkah penyelamatan bukan tanpa dasar atau alasan yang jelas. Bank Indonesia merekomendasikan bahwa Bank Century harus diselamatkan , karena jika ditutup akan berdampak sistematik, hal itu menurut Budiono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI. Berdampak sistematik dalam kasus ini, yang mana dalam pengertian Undang Undang (BI dan LPS), yakni kegagalan suatu bank yang akan berpengaruh secara berantai terhadap perbankan nasional secara khusus dan sistem keuangan bangsa secara umum, yang pada gilirannya berpotensi memicu krisis ekonomi.

Tetapi mengapa ‘kucuran dana’ ini kemudian santer diperdebatkan. Pertama, permasalahan tentang mengapa Bank Century pantas diselamatkan ketimbang Bank Indover, sebuah bank pada Indover mencapai Rp 461 miliar, lalu Bank Mandiri US 31 juta (Rp 341 miliar), BNI sebesar Rp 156 miliar, Bank Bukopin sebesar US$ 15 juta (Rp 165 miliar), Bank CIMB Niaga sejumlah US$ 5 juta (Rp 55 miliar). Atau total dana perbankan nasional di Indover mencapai lebih Rp1 triliun. Sudah dipastikan dana tersebut sangat menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbeda dengan Bank Century, yang kebanyakan nasabahnya berasal dari kalangan konglomerat, yakni diantaranya dimana sebuah bank Negara dibawah Bank Indonesia yang beroperasi di Belanda. Bank Indover juga memilki kasus atau kesulitan yang hampir sama dengan Bank Century. Aset yang dimiliki keduanya hampir sama pula. Tetapi DPR dan Menkeu Sri Mulyani enggan menyuntikkan dana, sehingga bank itu tertutup. Padahal bank tersebut merupakan bank Milik Negara yang berasal dari dana perbankan BUMN seperti BRI, Mandiri, BNI. Setidaknya dana BRI Budi Sampoerna dan Murdaya Poo, dan dikabarkan juga terdapat dana pensiunan tentara Amerika. Sehingga penyelamatan Bank Century terkesan tidak adil bila dibanding Bank Indover yang notabene milik negara, padahal angka bantuan likuiditas pada akhirnya sama yakni Rp 6.7 triliun untuk Century milik si Robert Tantular dan Rp 7 triliun untuk Indover milik negara Indonesia. Ternyata dalam hal ini, LPS, Menkeu Sri Mulyani, dan Boediono lebih memilih menyelamatkan Bank Century dibanding “negara Indonesia”. Dari sini bisa kita lihat, terlihat perbedaan keputusan, bias jadi karena ‘jaringan’ kasusnya berbeda atau adanya ‘kepentingan’.

Lalu mengapa DPR menyetujui atas usulan ‘penyelamatan’ Bank Century dibanding Bank Indover? Karena DPR beranggapan membutuhkan dana yang cukup besar untuk menyelamatkan Bank Indover, yakni sebesar Rp. 7 triliun, yang mana sangat menyedot dana APBN. Apabila dana yang dibutuhkan hanya 1-2 miliar tidak menutup kemungkinana diselamatkan. DPR juga percaya bahwa penutupan Bank Indover tidak akan berdampak secara sistemik seperti yang sempat Budiono khawatirkan. Karena dana di Indover hanya sekitar Rp 10-an triliun, sangat kecil dibanding dana perbankan nasional yang mencapai lebih dari Rp 1500 triliun. Dan mengapa DPR pada awalnya setuju agar BI bersama LPS mengambil alih Bank Century dikarenakan bahwa pada awalnya BI memberi laporan bahwa untuk menyelamatkan Century, ‘hanya’ diperlukan dana Rp 632 miliar.Yang kemudian DPR hanya diberitahu bahwa dana bailout yang keluar cuma Rp 1.3 triliun. Karena besaran serta aset Bank Century yang hampir sama dengan Bank Indover , maka langkah penyelamatan Bank Century dengan dana sekitar Rp 1 triliun masih dianggap wajar oleh DPR.

Namun terjadi reaksi berantai pengucuran dana yang lebih besar. Bank Indonesia telah memberikan analisis yang keliru. Seharusnya BI menyebutkan angka Rp 632 miliar hanayalah dana awal, yang kemudian hari berpotensi membengkak jika terjadi rush money yang besar. Dan terbukti, terjadi aliran dana yang besar pada November – Desember 2008, sehingga pada akhirnya angka penyelamatan membengkak hingga lebih dari 1000% yakni Rp 6.7 triliun. Lalu muncul pertanyaan mengapa bank yang sudah dirampok pemiliknya sendiri disuntik dana besar-besaran, kemudian muncul fakta kemana ari dana sebesar itu karena msaih saja sampai saat ini nasabah kecil bank itu uterus saja berdemonstrasi menuntut kembali dana mereka.

Kandank Ilmu Team

Tuesday, December 1, 2009

Sharing Alumni

Eksternal HIMA IESP FE Unpad 2009/2010
Proudly Present

Sharing Alumni

hari : Sabtu, 5 Desember 2009
tempat : B1

Mendatangkan alumni-alumni IESP yang berbakat di bidangnya untuk membagikan cerita dan pengalamannya di dunia kerja, serta memberikan motivasi bagi mahasiswa IESP FE Unpad khususnya bagi angkatan 2009.

Pembicara:
1. Hendra Tjahya Handawi (IESP angkatan 1989) - Pemilik Planet Dago dan Dago Plaza
2. Deny R Purwana (IESP angkatan 1999) - KPK
3. Hero Wonida (IESP angkatan 2000) - Bank Indonesia
4. Adrian Kusuma Pratama (IESP angkatan 2004) - Departemen Keuangan
5. Ari Ratna Santika (IESP angkatan 2004) - Departemen Keuangan

HTM: Rp5.000,-

Wanna get a big prize? Be There!

Kandank Ilmu Team

Sektor Informal Yang Terus Berkembang


Ridela Sheila
(Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)

Adanya persaingan yang semakin ketat antar negara di dunia dan diberlakukannya perdagangan bebas (free trade) menjadikan banyak negara berbondong-bondong untuk melakukan inovasi dalam berbagai hal. Salah satu yang paling menonjol adalah penguasaan teknologi. Dengan teknologi, suatu negara dapat menciptakan barang baru untuk diperdagangkan atau menciptakan cara baru yang lebih efisien untuk meningkatkan produksi barang yang sudah ada.

Ketika terjadi peningkatan produksi suatu barang oleh suatu negara, hal ini berarti terjadinya peningkatan pula pada output secara keseluruhan, yang berarti pertumbuhan ekonominya juga meningkat. Namun, penerapan teknologi untuk yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian membutuhkan pekerja dengan kemampuan yang cukup (skilled labor). Sedangkan, tidak semua sumber daya manusia yang ada memiliki kemampuan yang sama. Sebagai contoh, negara maju seperti Amerika, jumlah sumber daya manusia yang memiliki kemampuan di atas rata-ratanya dapat mencapai angka yang signifikan, sedangkan kondisi tersebut tidak terjadi Indonesia.


Walaupun demikian, semua orang, baik yang memiliki kemampuan lebih atau tidak (skilled or unskilled labor), membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, rumah, dan pakaian. Oleh karena itu, ketika banyak pekerja yang tidak dapat menggapai sektor formal, maka sektor informal lah yang berkembang dan memberikan lahan pekerjaan untuk para unskilled labor. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor informal telah menjadi penyokong hidup banyak orang, terutama warga negara berkembang yang memiliki keterbatasan kemampuan (skill).

Sektor informal sebenarnya merupakan sektor yang menyumbang pendapatan negara terbanyak dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara jika dimasukkan dalam penghitungan PDB. Perputaran uang dalam sektor informal pun sangat cepat dan dengan jumlah uang yang relatif besar. Bisa jadi inilah alasan mengapa banyak orang yang bahkan lebih memilih mendapatkan penghasilannya melalui sektor informal dibandingkan sektor lainnya.


Namun, sektor informal masih sangat identik dengan pasar gelap (black market) seperti jual beli narkoba, perdagangan anak, dan sebagainya. Hal ini berarti merupakan sesuatu yang harus ditindak tegas oleh pemerintah dan bukan termasuk jenis pekerjaan informal, melainkan salah satu bentuk kriminalitas tingkat berat yang harus diberantas.

Kandank Ilmu Team